Tasawwuf.
sifat - sifat Terpuji Dalam Tasawwuf
1. zuhud
Menurut bahasa zuhud berasal dari kata dasar zahada yazhadu zuhdan,
yang berarti meninggalkan atau menghindar. Yakni meninggalkan atau
menghindar dari kesenangan duniawi yang berlebih-lebihan misalnya dalam
hal makanan, pakaian, rumah atau kendaraan karena pengabdian kepada
Allah SWT melebihi dari segalanya.
Menurut istilah zuhud memiliki beberapa pengertian :
a. Ibnu Taimiyah, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat”.
b. Imam
Al Qusyairy, ”Zuhud adalah tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia
yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta”.
c. Imam Al Ghazali, ”Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai kemewahan dunia sesuai dengan kadar kemampuannya”.
d. Hasan
Al-Bashri, ”Zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau
menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di
tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama
saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan
yang mencelamu dalam kebenaran”.
Dari
empat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah suatu
sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan harta kekayaan
dunia atau dunia. Harta kekayaan atau dunia hanyalah sarana untuk
mencapai tujuan hakiki yakni kehidupan akhirat.
Beberapa firman Allah SWT terkait dengan sifat Zuhud :
a. QS An Nisa ayat 77 :
"...
Katakanlah: ’kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun”.
b. QS Luqman ayat 33 :
”... maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.
c. QS Al Kahfi ayat 7 :
”Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar
Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik
perbuatannya”.
d. QS Asy Syura ayat 20 :
”Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
e. QS Al Hadid ayat 23 :
“ (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Para ulama Tasawuf membagi zuhud ke dalam beberapa tingkatan, antara lain :
a. Imam Ahmad bin Hanbal :
1) Zuhud Awam, dengan meninggalkan barang yang haram,
2) Zuhud Khawas, dengan meninggalkan barang yang halal,
3) Zuhud ’Arif, dengan meninggalkan apa saja yang menghalanginya dari Allah SWT.
b. Imam Abu Nashr As Sarraj At Tusi :
1) Zuhud Mubtadi’ (tingkat pemula), yakni orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya-pun tidak ingin memilikinya.
2) Zuhud
Mutahaqqiq (tingkat orang yang telah mengenal hakekat zuhud), yakni
orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta
benda duniawi karena tahu dunia tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3) Zuhud
‘Alim Muyaqqin (tingkat orang yang memandang bahwa dunia tidak memiliki
nilai), yakni orang yang memandang bahwa dunia ini hanyalah sesuatu
yang dapat melalaikan dari mengingat Allah SWT.
c. Iman Al Ghazali :
1) Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik,
2) Meninggalkan keduniaan karena menginginkan sesuatu yang bersifat keakhiratan,
3) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT, karena rasa cintanya hanya tertuju kepada Allah SWT.
Kebalikan dari sifat zuhud adalah hubbuddunya
(berlebih-lebihan mencintai dunia/harta benda). Orang yang hubbuddunya
digambarkan oleh Allah SWT sebagai orang yang suka mencela dan
mengumpulkan harta benda. Perhatikan QS Al Humazah berikut ini !
1. kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
4. sekali-kali tidak! sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
5. dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
7. yang (membakar) sampai ke hati.
8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
2. tawadhu"
Tawadhu’ merupakan kebalikan dari sifat takabbur,
dimana ia memiliki banyak pengertian; bersikap tenang, rendah hati,
sederhana, bersungguh-sungguh menjauhi sifat sombong dan membangkang,
disamping memiliki arti tunduk dan taat melaksanakan yang haq dan bersedia menerima kebenaran dari manapun datangnya.
Dalam al Qur’ân Allah SWT menjelaskan ada beberapa jenis sikap tawadhu’; pertama, tawadhu’ kepada perintah Allah dan RasulNya (QS. An Nûr/24:51), kedua, tawadhu’ kepada sesama manusia (QS. Asy Syu’ârâ/26:251) dan ketiga, tawadhu’ kepada
kebenaran (QS. Al Hadîd/57:16). Semua itu merupakan sarana yang dapat
mengantarkan pelakunya menuju surga, karena hanya orang-orang yang taat
kepada perintah Allah dan RasulNya, tawadhu’ sesama manusia dan setia terhadap kebenaran yang dapat masuk ke dalamnya.
Adapun orang-orang takabbur,
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan
tidak akan pula mereka masuk surga (QS. Al A’raf/7:40). Rasulullah SAW
bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat takabbur meskipun sebesar biji sawi”. (HR. Muslim I/56 dari Abdullâh bin Mas’ûd RA).
Disamping itu, Rasulullah SAW menyerukan agar umatnya senantiasa memelihara sikap tawadhu’
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْعِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’ sehingga
seseorang tidak akan berbuat sombong dan menzhalimi orang lain”. (HR. Muslim II/651 dar ‘Iyâdl bin Himâr).
Diterangkan pula, bagaimana ketawadhu’an Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari; sikapnya ketika menyapa anak kecil, khidmah beliau
kepada istrinya dalam pekerjaan rumah tangga, penghargaan atas hadiah
apapun yang diberikan kepadanya dan sikap-sikap kerendah hatian beliau
yang lainnya. (Abdurrahmân Hasan al Maidâni, al Akhlâqul Islâmiyyah wa
Asâsuhâ, juz I, hal.672-673).
Untuk menghindari sikap takabbur dan menumbuhkan sifat tawadhu’, Sayyid Muhammad Nuh dalam Âfât ‘Alâth Thârîq memberikan beberapa terapi, diantaranya: mengingat
kembali bahaya yang ditimbulkan karena sifat takabbur, sering menengok
orang sakit atau orang yang sedang sakâratul maut, menghindari pertemuan
dengan orang-orang yang sombong dan lebih dekat dengan orang-orang yang
rendah hati, menjalin kebersamaan dengan kaum dhu’âfâ, merenungkan apa
yang telah di dapat hari ini dan dari siapa itu semua, merenungkan
riwayat bagaimana gelapnya orang-orang takabbur semisal Namruz, Fir’aun,
Hâmân, Abû Jahal dan Ubay bin Ka’ab, giat menghadiri majlis tazkiyyatun
nafs, giat melakukan instrosfeksi diri dan selalu memohon pertolongan
Allah (Sayyid Muhammad Nuh, 218-222).
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق